Jumat, 09 Juli 2010

Apa Kata Dunia

Akses menuju Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara tidaklah senyaman kita berjalan di daerah lain di provinsi Sulawesi Tenggara. Sepanjang dua jam perjalanan menuju Pasarwajo (Ibukota Kabupaten Buton) kita akan disuguhi jalan rusak dan berdebu. Kondisi ini berlangsung hampir 10 tahun belakangan. Tak ada upaya perbaikan dari pihak pemerintah. Pemerintah kabupaten menyerahkan tanggung jawab tersebut pada pemerintah provinsi, sebab status pemeliharaan jalan tersebut berada dalam wewenang provinsi. "Perbaikan dan pemeliharaan jalan Itu tanggung jawab pemerintah provinsi,"kata Drs Lutfi Hasmar Kepala Badan Informasi Komunikasi Kabupaten Buton.
Sejauh 58 KM dari Kota Baubau menuju daerah Pasarwajo yang terlihat hanya kondisi jalan rusak. Ada sebagian badan jalan yang beraspal, tapi telah ditambal sulam. "Orang di sini menyebut aspal sinetron, artinya sedikit bagusnya, lebih banyak rusaknya,"kata Isman, warga Kota Baubau mengomentari jalan rusak di Buton. Kerusakan jalan terparah berada di kilometer 10 dari Kota Baubau hingga 40 KM menuju Kabupaten Buton di Pasarwajo.
Meski tudingan miring diarahkan ke pemerintah provinsi, namun yang jelas kondisi jalan yang rusak parah tersebut sungguh kontras dengan julukan Buton sebagai penghasil aspal. Ya, dalam perut bumi Buton mengandung beribu-ribu ton aspal mentah. Berpuluh tahun predikat ini disadang Pulau Buton sebagai penghasil aspal alam. Bahkan dalam mata pelajaran sekolah, siswa akan dengan mudah mengingat nama Buton sebagai daerah penghasil aspal. "Sejak semasa sekolah dasar dulu, saya sudah mendengar naman Buton sebagai penghasil aspal, tapi faktanya tak seperti itu,"kata Tamrin, salah satu jurnalis lokal di Kendari mengeluhkan kondisi jalan di Buton.
Saat menginjakkan kaki di Pasar wajo, sebuah tambang aspal yang dikelola PT Sarana Karya berdiri kokoh dan hanya berjarak 5 KM dari pusat ibukota Buton. Nasib tambang aspal buton sejak 2000 lalu hingga kini terus terkatung-katung akibat menipisnya modal investor PT Sarana Karya. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara ini dikabarkan tengah sekarat. Kondisi keuangan perusahaan yang kembang kempis kian menambah beban perusahaan. Ratusan tenaga kerja terpaksa menganggur sejak perusahaan ini mulai mengalami bangkrut pada tahun 1997 lalu. Krisis moneter telah menyeret PT Sarana Karya diambang pailit.
Untuk mengembalikan citra Buton sebagai penghasil aspal pemerintah setempat nampaknya tak patah arang. Pada medio Mei 2006 lalu Pemda telah melakukan penandatangan MoU dengan sejumlah investor diantaranya PT Karya Megah Buton. Bahkan Bupati Buton Drs Sjafei Kahar, Sabtu pekan lalu, telah meletakkan batu pertama tanda dimulainya pembangunan pabrik pengolahan aspal modifier PT Karya Megah Buton di Desa Suandala, Kecamatan Lasalimu, Buton. Rencananya tahun 2007 pabrik tersebut sudah bisa berproduksi.
"Alhamdulillah setelah PT Karya Megah Buton melakukan penelitian di Kabungka, mereka menemukan tambang baru aspal dan akan dibangun pabrik yang lebih besar di sana,"katanya. Tentang tambahan PAD, Sjafei belum memastikan berapa nilainya. "Itu tergantung dari berapa besar produksi yang dipasarkan dan pemerintah menarik retribusi sekitar enam persen dan setiap ton yang dipasarkan,"kata Sjafei seperti ditulis dalam artikel majalah milik Pemda Buton.
Sekitar 17 tahun sejak 1986-2003, pemerintah tidak pernah memperoleh pendapatan dari aspal. Sjafei mengatakan, potensi aspal buton begitu besar dan dikenal di dunia. Tapi apa yang terjadi selama puluhan tahun PT Sarana Karya selaku investor tunggal hanya memasarkan aspal alam, tanpa memperbaiki mutu pengolahan, akibatnya nama aspal buton semakin merosot di mata dunia. "Ini merupakan perjuangan panjang agar mutu aspal bisa diterima di pasaran dalam dan luar negeri,"katanya.
"Tahun 2005 lalu, mulai ada pemasukan kurang lebih 400 juta dari aspal yang dipasarkan termasuk PT Buton Aspal Indonesia dan PT Sarana Karya. Dan saya optimis tahun 2006 ini akan lebih banyak lagi melalui investasi PT PT Karya Megah Buton,"tambahnya.

Sementara itu, Dirut PT KMB Robin Setiono dalam wawancara dengan wartawan koran lokal Kendari, bahwa tahap pertama melalui aspal modifier pihaknya akan mengurangi kadar air aspal buton melalui proses pemanasan dan penghalusan. dan kta pastikan kualitasnya sama, homogen. sekarang yang sering jadi masalah aspal buton dikirim mentah-mentah, tanpa orang itu tahu, kan sifat aspal buton berbeda,"katanya.

Bila diubah menjadi aspal modifier robin mengaku harga jual aspal buton sekitar 100 dolar per ton dengan kandungan 20 persen kadar aspal. berart otomatis dari kandungan aspalnya 500 dolar per ton, lebih mahal dibanding harga jual aspal alam.
Investasi tahap pertama sekitar 20 miliar rupiah, tahap ke dua pembangunan pabrik pemurnian aspal lebih besar lagi dan dibutuhkan dana sebesar 200 miliar rupiah. Tahap pertama pengolahan relatif lebih sederhana, dan telah berhasil diuji di kabungka. "Aspal buton ini unik, di dunia hanya satu. Kita coba teknologi dari kanada ternyata aspalnya beda,"katanya.

Usaha pembangunan daerah, desa dan kota terus ditingkat-kan dan diarahkan pada pencapaian tujuan untuk makin memera takan pembangunan, makin memantapkan pewujudan Wawasan Nusantara, dan makin mewujudkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab. Dalam rangka itu pembangunan daerah, desa dan kota dilaksanakan dengan tujuan menyerasikan laju pertumbuhan daerah yang satu dengan daerah yang lain dan antara pertumbuhan daerah pedesaan dan perkotaan; menyerasikan keseluruhan pembangunan di setiap daerah dengan prioritas dan potensi daerah masing-masing; meningkatkan kemampuan berprakarsa dan berpartisipasi masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam mem-bangun dan mendorong pertumbuhannya; dan mempercepat peningkatan kemampuan daerah-daerah tertentu yang masih menghadapi berbagai hambatan untuk berkembang.
Sehubungan dengan itu telah dirumuakan dan dilaksanakan berbagai kebijaksanaan pembangunan daerah yang dapat memberi kan jaminan yang lebih baik dalam mengusahakan keserasian kegiatan pembangunan sebagaimana disebutkan di atas. Sebagai langkah pertama, telah ditempuh pendekatan regional dalam rangka memberikan dasar untuk mengarahkan keseluruhan pem-bangunan daerah menjadi satu kesatuan pembangunan nasional. By Line: Yoshasrul


Jalan Rusak dan Penghasil Aspal

Bagai ayam mati diatas lumbung padi.....JARAK Kota Bau-bau dengan Pasarwajo hanya 48 kilometer. Namun, tiuntuk menempuh jarak sedekat itu dibutuhkan waktu lebih dari satu jam. Pasalnya, kondisi jalannya sangat jelek. Lapisan aspal yang membungkus permukaan jalan terkelupas, bahkan banyak yang menyisakan lubang menganga di beberapa bagian.
Kondisi jalan seperti itu sangat kontradiktif dengan predikat Buton sebagai salah satu pulau penghasil aspal alam terbesar di dunia. Potensi aspal itu terhampar dari ujung selatan hingga utara Pulau Buton seluas 70.000 hektar.
Hamparan itu ditaksir mengandung deposit aspal sekitar 350 juta ton dengan kadar aspal (bitumen) bervariasi, mulai 10 sampai 40 persen. Artinya, potensi aspal tersebut tidak akan habis sampai puluhan tahun ke depan. Aspal tersebut berada hanya pada kedalaman sekitar 1,5 meter dari lapisan permukaan tanah.
Kalau mau, Pemerintah Kabupaten Buton sebenarnya bisa mengeruk sendiri aspal alam itu, lalu digelar di seluruh ruas jalan yang ada di daerah tersebut termasuk jaringan jalan pedesaan, supaya seluruh masyarakat Buton terbebas dari buruknya prasarana jalan darat.
Apa sulitnya melakukan hal itu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang telah tersedia melimpah di Pulau Buton? Pemerintah daerah tinggal membeli mesin penggiling untuk menghaluskan butiran aspal yang akan dihampar pada permukaan jalan agar menjadi mulus.
Bila kebijakan seperti itu yang ditempuh, masalah kerusakan jalan poros antara Bau-bau dan Banabungi akan cepat tertanggulangi. Tidak perlu menunggu dana dari pemerintah pusat atau pemerintah provinsi untuk membeli aspal minyak yang diimpor karena aspal alam sangat melimpah.
POROS jalan yang mengalami kerusakan tersebut merupakan jalur strategis karena menghubungkan Banabungi sebagai ibu kota Kabupaten Buton dengan Bau-bau sebagai kota pelabuhan. Jalur tersebut berstatus jalan provinsi sehingga dana pemeliharaan dan peningkatan kualitasnya disediakan pemerintah provinsi.
Pemindahan ibu kota kabupaten tersebut dari Kota Bau-bau secara resmi baru dilaksanakan 24 April 2004. Karena fasilitas perumahan belum tersedia, sebagian besar pegawai Pemkab Buton masih harus bolak-balik Bau-Bau–Banabungi setiap hari kerja yang jaraknya sekitar 48 kilometer.
Itulah sebabnya fungsi jalan poros yang menghubungkan kedua kota tersebut dinilai sangat vital bagi Kabupaten Buton saat ini, baik dari aspek kelancaran roda pemerintahan, ekonomi, maupun sosial. Olah karena itu, sangat wajar jika kerusakan jalannya dapat segera ditanggulangi, tanpa harus melihat status jalan tersebut, jalan provinsi atau jalan nasional.
Kerusakan jalan ini terasa ironis, karena Pulau Buton merupakan salah satu penghasil aspal alam terbesar di dunia. Selain potensinya melimpah dan mudah diperoleh, bahkan kalau mau bisa dikeruk sendiri, harganya pun lebih murah. Selain itu karena tidak didatangkan dari daerah lain, maka ongkos angkutnya pun menjadi sangat rendah yang berdampak pada murahnya biaya pembangunan jalan.
Namun, potensi alam tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk kemajuan daerah karena kebijakan pemerintahan yang masih sentralistis. Untuk pembangunan jalan, secara nasional mesti menggunakan aspal minyak (asmin) yang harus diimpor karena produksi aspal minyak Pertamina masih sangat terbatas.
Akibat kebijakan tersebut, potensi aspal alam yang melimpah menjadi sia-sia. Pulau Buton yang merupakan penghasil aspal alam, untuk pelapisan jalannya, juga harus menggunakan aspal minyak hasil impor tersebut yang pasti menguras devisa negara karena harganya mahal.
Purnomosidi Hadjisarosa ketika menjabat Menteri Pekerjaan Umum Kabinet Pembangunan III Orde Baru dikenal memiliki komitmen kuat dalam pemanfaatan potensi aspal alam yang melimpah itu. Ia menilai aspal butas (Buton Asphalt) memiliki komposisi atau campuran berbagai material yang telah diproses oleh alam dengan begitu sempurna.
Pada masa jabatannya Purnomosidi menyetujui penggunaan aspal butas dengan sistem hotmix, seperti halnya penggunaan asmin yang diimpor itu. Namun, percobaan itu diakuinya belum optimal karena kelemahan sumber daya manusia yang menanganinya dan sama sekali bukan kelemahan aspal butas.
PIHAK yang langsung merasakan dampak dari tidak dipakainya aspal butas adalah PT Sarana Karya (Saka), BUMN di lingkungan Departemen PU yang mengelola penambangan aspal di Pulau Buton.
Di pengujung tahun 1980-an, perusahaan itu terpaksa merumahkan sekitar 600 dari 800 lebih karyawannya karena gaji mereka tidak bisa lagi dibayar. Petunjuk Presiden Soeharto saat itu agar produksi aspal butas ditingkatkan menjadi satu juta ton per tahun, justru mempercepat kejatuhan PT Saka.
Ini disebabkan untuk meningkatkan produksi sebanyak itu PT Saka melakukan investasi pengadaan alat berat, armada truk, peningkatan kapasitas penggilingan bongkahan aspal, dan sebagainya. Namun, ketika kegiatan investasi mulai dilakukan, permintaan aspal butas justru berkurang karena pemerintah menetapkan penggunaan aspal minyak.
Sebetulnya, kontribusi aspal butas bagi kebutuhan aspal di Indonesia hanya sekitar 15 persen. Selebihnya ditutup dengan asmin produk impor sekitar 45 persen dan sisanya, 40 persen, produk Pertamina sebagai residu dari kilang minyak Cilacap.
Setelah kontribusi itu makin kecil, bahkan sering nihil sama sekali, PT Saka dengan karyawan yang jumlahnya terbatas dan sisa-sisa alat yang tak sempat dijual untuk mengurangi kredit bank, masih terus berupaya melakukan inovasi dalam memproduksi aspal butas.
Pada awal tahun 1990-an, misalnya, PT Saka melalui kerja sama dengan sebuah perusahaan di Surabaya, memproduksi aspal butas mikro berukuran sekitar 2 milimeter. Ukuran ini sudah jauh lebih maju dibanding dengan sebelumnya, yang berkisar 12,7 mm (aspal curah). Aspal dengan butiran yang semakin halus itu dikemas seperti semen sehingga pengangkutannya lebih praktis.
Akan tetapi, produk aspal butas tersebut tetap tidak dilirik pasar. Terakhir ini PT Saka giat mengembangkan produk aspal butas yang diharapkan bisa kompetitif dengan asmin. Yaitu produk Buton Granular Asphalt (BGA). Butirannya lebih halus lagi, yakni sekitar 1,2 mm.
Seperti dijelaskan Direktur Administrasi dan Keuangan PT Saka Sukono, yang mewakili Direktur Teknik La Ode M Syamsul Qamar, produk BGA merupakan bahan siap pakai. Produk ini memiliki bitumen standar dan berfungsi sebagai bahan aditif untuk campuran perkerasan jalan kualitas tinggi.
Menurut Sukono, khusus untuk produk BGA sudah ada yang memesan. Departemen PU, misalnya, tahun 2003 lalu meminta disediakan sebanyak 32.000 ton. Sedangkan China memesan sebanyak 5.000 ton setiap bulan. Namun, permintaan tersebut belum dapat dipenuhi karena PT Saka masih kesulitan modal untuk pengadaan mesin pabrik BGA. "Sejak tahun 2002 kami memproduksi jenis BGA itu secara manual," ujarnya.
IMPIAN untuk membangkitkan kembali penggunaan aspal butas tak kunjung menjadi kenyataan. Obsesi yang dibangun adalah pendirian pabrik pemurnian (ekstraksi) aspal butas untuk mengatasi kelemahan aspal alam tersebut selama ini.
Sekitar 10 tahun lalu sudah ada investor yang beraksi terkait dengan rencana pembangunan pabrik ekstraksi di Pulau Buton. Seperti dijelaskan Asisten II Sekretaris Daerah Kabupaten Buton M Natsir Andi Baso ketika itu PT Hutama Prima menggandeng dua perusahaan Jepang sebagai penyandang modal.
Perusahaan itu juga melibatkan PT Saka dan Pemda Sultra sebagai mitra kerja sama. Bahkan, naskah nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) telah ditandatangani Gubernur Sultra La Ode Kaimuddin, Dirut PT Saka Susanto Harjosukanto, dan Dirut PT Hutama Prima Toki Sugiarto.
Pabrik ditargetkan berproduksi mulai Juli 1998 sebanyak 75.000 ton aspal murni. Dua tahun kemudian, tahun 2000, pabrik itu direncanakan berproduksi dengan kapasitas penuh, 300.000 ton setahun. Limbah aspal berupa limestone (kapur) juga akan dimanfaatkan dengan membangun pabrik semen.
Rencana investasi itu kemudian tak jelas lagi rimbanya setelah terjadi reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru. "Dengan alasan keamanan dan tiadanya kepastian hukum para penyandang modal mengundurkan diri," tutur Natsir.
Belakangan ini makin banyak calon investor yang berminat membangun pabrik ekstraksi aspal alam di Buton. Tetapi sebegitu jauh, belum ada yang mulai membangun pabrik tersebut. Artinya, realisasi pembangunan pabrik pemurnian aspal di Buton masih merupakan penantian yang panjang bagi masyarakat Buton khususnya dan rakyat Sultra umumnya.
Ditambah kebijakan yang tidak berpihak pada penggunaan asal butas, maka kerusakan jalan di Pulau Buton pun akan terus terjadi dan entah kapan bisa diperbaiki...Kompas, 25 Mei

Kampoeng wabula


       Secara kultural kehidupan masyarakat wabula terdiri dari kesatuan-kesatuan hidup yang diatur oleh hukum adat yang berasal dari norma-norma sosial yang hidup berkembang dari masyarakat bersangkutan. Kesatuan-kesatuan hidup masyarakat ini tidak hanya terdiri dari keragaman kultural.


Sebagai masyarakat hukum adat mereka hidup dan berusaha dalam wilayah yang sama, maka segala urusan budaya dan tata laku dalam pergaulan hidup senantiasa diatur oleh para tokoh masyarakat adat setempat. Tokoh adat mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan hasil musyawarah. Ia merupakan tokoh panutan masyarakat dalam proses pergaulan hidup sehari-hari. Kewenangan dan kebijakannya secara internal dipatuhi sebagai kebutuhan dasar yang dianggap dapat mengatur dan melindungi stabilitas hubungan sosial antar warga, termasuk keserasian hubungan masyarakat dengan alam sekitar


Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas masing-masing. Pakaia ini adalahciri khas dari desa wabula kecamatan wabula

Cungka. Ini merupakan puncak dalam tarian adat setempat. biasanya tari ini hanya dilakukan oleh tokoh adadt setempat. biasanya tari ini dilakukan pada perayaan pesta adat (Pidoanokuri) yang dilakukan setahun sekali 







Tarian Caca merupakan tarian daerah yang dilakukan oleh masyarakat setempat . biasanya tarian ini dilakukan pada acara pernikahan, pesta adat, atau biasanya untuk menerima dan melayani tamu.  Melalui tarian ini, dapat digambarkan sifat dan sikap keterbukaan dari masyarakat setempat yang penuh kesederhanaan dan lugas dalam menghormati dan menghargai tamu.
                                   

Kampoeng Bajo

Seseorang yang lahir di suku ini sudah diperkenalkan dengan laut dalam usia yang baru beberapa hari. Sebagaimana seorang pelukis, lautan tidak sekedar wadah untuk mengasah kreasi. Lautan adalah kanvas yang digoreskan dengan kuas kehidupan. Laut adalah nyawa yang memelihara eksistensi orang Bajo sebagai pengelana dan penakluk lautan.


Saat melintas di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula, saya melihat hamparan perkampungan Suku Bajo yang elok dipandang mata. Warga Bajo di situ menyebut kampungnya sebagai Bajo Berese, untuk membedakan perkampungan itu dengan suku Bajo lain yang banyak tersebar di Buton. Jika dilihat dari ketinggian, maka perkampungan tersebut sangat indah dan kelihatan bersahaja. Suku Bajo menata kampungnya di atas lautan di mana letak semua rumah-rumah itu berdekatan. Mereka seakan mengelilingi jalanan yang dibuat dengan titian dan menghubungkan banyak rumah. Sebegitu indahnya pemandangan yang saya saksikan, sampai-sampai kamera yang kugunakan untuk memotret seakan tak mampu menggantikan mataku yang menangkap keindahan itu.

Bahasa yang sehari-hari dgunakan di sini adalah bahasa Baong Sama. Namun rata-rata wagra Bajo bisa berbahasa Cia-cia, serta Wanci. Makanya, interaksi warga Bajo Berese dengan warga lainnya bisa berjalan lancar. Ada tiga desa yang berdekatan yaitu Desa Tolando yang berbahasa Cia-cia, Desa Dongkala atau Kondowa yang sebagian berbahasa Wanci. Sementara bahasa Wolio hanya dikuasai oleh para tokoh adat, yang dulunya selalu berhubungan dengan Keraton Buton.

Saya pernah membaca sejumlah literatur tentang suku Bajo. Di antaranya dari antropolog asal UGM, Heddy Shri Ahimsa Putra. Sayangnya, analisisnya terlampau memihak ke Sulsel. Katanya, suku Bajo punya relasi erat dengan Kerajaan Wajo di Sulsel. Bukannya saya skeptis dengan analisis ini, namun analisis itu hanya merangkum tafsir dari orang Sulsel saja –yang sejak dulu hegemonik dan merasa dirinya sebagai mata air kebudayaan di Indonesia timur.

Namun, kalau ditanyakan pada orang Bajo sendiri, maka boleh jadi kita akan menemukan variasi jawaban yang berbeda. Dalam bab 2, buku Wild Profusion: Conservation and Biodiversity in Togean Island, yang ditulis ilmuwan Inggris, Celia Loew, dituliskan syair Bajo yang menyebutkan bahwa “ilmu tertinggi orang Bajo bisa ditemukan di Kaledupa.” Penelitian Celia di perkampungan Bajo yang ada di Pulau Togean, SUlawesi tengah, menemukan variasi yang berbeda dengan analisis Ahimsa di atas. Ternyata, ilmu tertinggi –dan boleh jadi nenek moyang Bajo—terletak di Kaledupa. Dan hingga kini belum banyak yang meneliti di Kaledupa. Tampaknya, Celia tidak paham kalau Kaledupa adalah salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Wakatobi. Di pulau itu, terdapat banyak perkampungan suku Bajo

Kembali ke soal Bajo Berese. Saya menyaksikan ada jalan yang dibuat dari beton dan menghubungkan daratan Pasarwajo dengan perkampungan Bajo. Jalanan itu dibuat pemerintah yang juga bisa berfungsi sebagai pelabuhan bagi orang Bajo. Menurut orang Bajo yang saya tanyai, pembangunan jalan itu dulunya mengandung kontroversi. Ada sejumlah kalangan di Bajo yang tidak setuju karena jika ada jalan tembus dari darat, maka boleh jadi orang Bajo akan meninggalkan tradisi rumah panggung yang menancap di laut. Mereka bisa berpaling ke rumah batu, sehingga dikhawatirkan akan merusak khasanah kebersahajaan orang Bajo. Namun, banyak juga generasi yang lebih muda di Bajo yang setuju dengan rencana itu. Mereka bilang, meskipun rumah batu, namun rumah itu tetap berdiri kokoh di tengah lautan. Ciri khas Bajo tetap lestari yaitu sebagai bangsa yang berdiri kokoh di atas lautan.

Perdebatan itu adalah dilema yang menunjukkan posisi orang Bajo yang digempur modernisasi. Ketika melihat suku Bajo Berese, temanku Nas dalam posisi membela kelompok tradisional di Bajo. Sementara saya lain lagi. Menurut saya, kebudayaan Bajo jangan diromantisasi. Mereka harus bersentuhan dengan kemajuan dan perubahan, tanpa harus meninggalkan kebudayaan mereka. Dalam bahasa filosofis, Bajo boleh berubah, namun dia tetaplah Bajo. Saya kira demikian.(*)....http://timurangin.blogspot.com